Logistik dapat menentukan maju mundurnya perekonomian suatu negara. Dengan perannya yang sangam penting, logistik dapat dikatakan sebagai lifeblood perekonomian suatu negara.

Negara yang memiliki indikator kinerja logistik yang tinggi, besar kecenderungannya untuk memiliki pertumbuhan ekonomi dan kualitas pembangunan yang tinggi pula. Tidak itu saja, budaya, tingkat kehidupan, dan kesejahteraan orang per orang dalam suatu negara juga dapat terangkat dengan adanya kinerja logistik yang tinggi di suatu negara. Singkatnya, peran logistik tidak hanya terbatas dalam memberikan kontribusi pada level makroekonomi saja seperti, peningkatan pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi, perluasan dan penciptaan kesempatan kerja, dan derasnya arus masuk investasi dan perdagangan, melainkan juga dapat mampu mendongkrak dan menggeser kurva produksi ke kanan dan sekaligus meningkatkan kekuatan daya saing perusahaan pada level mikroekonomi.

Diukur berdasarkan Indeks Kinerja Logistik atau logistic performance index (LPI), Indonesia pada tahun 2018 memiliki LPI sebesar 3,15. LPI sebesar ini menempatkan Indonesia di lingkup negara ASEAN berada di urutan kelima setelah Singapura (4,00), Thailand (3,41), Vietnam (3,27), dan Malaysia (3,22). Jika LPI Indonesia tersebut diurutkan dengan LPI 160 negara anggota Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat 46. Walaupun LPI Indonesia tahun 2018 tersebut memang mengalami peningkatan dibandingkan LPI tahun 2014 yang berada pada peringkat 63 dengan skor 2,98.2 Indonesia belum pantas untuk berpuas diri dengan ranking yang meningkat posisinya pada tahun 2018 tersebut. Pasalnya, LPI Indonesia tersebut masih berada jauh di belakang baik terhadap negara-negara di lingkup ASEAN dan apalagi terhadap 160 negara di dunia. 

Dalam menetapkan nilai LPI, komponen yang digunakan Bank Dunia terdiri dari efisiensi pemeriksaan di perbatasan (efficiency of custom clearance), kualitas infrastruktur (infrastructure quality), kemudahan mengatur pengiriman (ease of arrangement shipments), kualitas dan kompetensi layanan logistik (quality and competence of logistic services), kemampuan melacak pengiriman (ability to track and trace consignments), dan ketepatan waktu pengiriman (timeliness of deliveries).

Kompleksitas memajukan logistik Indonesia tersebut tentu tidak semestinya digantungkan hanya pada upaya atau dengan cara memeras Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya untuk keperluan pembangunan infrastruktur konvensional seperti jalan tol, pelabuhan laut, bandara, jalur kereta api, dan infrastruktur fisik lainnya. Walaupun benar persoalan infrastruktur konvensional fisik (hard infrastructures) ini merupakan alat konektivitas untuk menghubungkan kawasan industri, lokasi atau pulau yang telah memiliki infrastruktur yang terbangun dengan kawasan industri yang belum berkembang. Dengan konektivitas, upaya untuk meningkatkan mobilitas masyarakat dan distribusi barang dan jasa mendorong pembangunan ekonomi Indonesia dapat tercapai lebih optimal. 

Memajukan logistik juga dapat dilakukan dengan cara  meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur non konvesional lainnya (non-convensional infrastructures) lainnya. Dengan demikian, ketergantungan memajukan logistik Indonesia yang hanya difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik konvensional melalui APBN seperti disebutkan di atas diyakini akan sangat berat atau nyaris mustahil, apalagi dengan hadirnya pandemi Covid-19. Mengapa demikian? Hal ini karena pandemi Covid-19 telah melumpuhkan keseimbangan baik dari sisi permintaan dan produksi. Capaian pertumbuhan ekonomi yang secara susah payah telah dicapai sejak krisis multidimensi tahun 1997/1998, pada tahun ini diindikasikan mengalami resesi ekonomi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dalam dua triwulan II dan III mengalami pertumbuhan negatif.

Sehubungan dengan hal tersebut, berbagi pikiran dan analisis berdasarkan hasil penelitian yang panjang untuk memajukan logistik Indonesia yang berdaya saing. lingkup pemikiran dan analisis memajukan logistik Indonesia yang berdaya saing tidak hanya terbatas pada sektor logistik terkait infrastruktur fisik konvensional transportasi saja, melainkan diperluas mencakup logistik terkait teknologi informasi dan komunikasi, logistik ekspres bagi pengembangan UMKM, logistik hijau untuk mewujudkan manajemen rantai pasok berkelanjtutan, dan logistik halal. Bahkan catatan penting yang perlu diperhatikan terkait kondisi dan perkembangan logistik saat pandemi Covid-19 juga tak luput didiskusikan.

Pemikiran dan analisis sektor logistik yang cenderung tidak konvensional tersebut diyakini dapat memberikan masukan kepada pemerintah dan stakeholders lainnya dalam pertimbangan maupun peninjauan ulang kebijakan ekonomi pembangunan logistik Indonesia di satu pihak, dan perluasan usaha yang mungkin dapat dikembangkan baik dalam menyikapi pandemi Covid-19 maupun dinamika perubahan ekonomi ke depan di lain pihak. Keniscayaan mencari alternatif strategi dan kebijakan memajukan logistik yang berdaya saing di luar pembangunan infrastruktur fisik konvensional saja dapat meringankan tekanan pengeluaran belanja negara dan apalagi jika keuntungan sosial ekonomi dari alternatif pembangunan logistik non konvensional tersebut dapat lebih segera terjadi memberikan kontribusi memajukan Indonesia.